Satu Jasad dan Satu Bangunan

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih, sayang dan kecenderungan jiwa (simpati) seperti perumpamaan jasad/tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya, yaitu tidak bisa tidur dan (sakit) demam. (HR Ahmad, Baihaqi, Muslim, Thabrani dan Qudha‘i. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Muslim)

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Orang mukmin bagi mukmin lainnya seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (HR Abu Ya‘la, Ahmad, Bukhari, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, Muslim, Nasa’i, Thabrani, Tirmidzi dan Qudha‘i )

Di Shahih Bukhari dan Musnad Syihab al-Qudha‘i, untuk hadits terakhir terdapat tambahan:
وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.

Kemudian beliau menggabungkan jari-jari tangan beliau.

Mari kita perhatikan peristiwa sehari-hari. Ketika kaki tersandung batu, seluruh bagian tubuh bersimpati dan empati. Otak memerintahkan kaki 'tuk berhenti berjalan, mata berkaca-kaca, lisan membaca istirjâ‘ (innâ lillâhi...), bibir melengkung ke bawah bak busur panah :(, tangan pun turut serta memegang dan memijit dengan penuh telaten. Hebatnya, semua itu terjadi secara otomatis. Begitulah sunnatullah berjalan. Subhânallâh.

Sebuah gedung, betapa pun serasi warna cat yang digunakan serta kokoh pondasi dan tiang pancangnya, namun bila kondisi pintu dan jendela yang ada sangat parah, maka bangunan tersebut tidak mengagumkan. Keadaan seperti ini sangat rapuh terhadap pencurian, juga tidak indah.

Itulah perumpamaan umat Islam, laksana satu jasad atau satu bangunan. Hanya saja, pemahaman ini sangat kita mengerti saat berada di majelis ta'lim, pengajian, pesantren atau masjid. Bagaimana kondisi kita selain di area itu?

Coba kita ingat lagi tingkah laku kita di luar tempat-tempat sakral tersebut. Di jalan raya, apakah kita masih memandang dan memerlakukan pengguna jalan lain sebagai saudara kita? Ketika naik sarana transportasi umum—angkutan kota (angkot/lyn), bus, kereta api atau lainnya—adakah perilaku kita senantiasa santun, ramah dan indah kepada sesama penumpang (saudara kita)?

Di blog, forum atau jejaring sosial, adakah tulisan kita selalu dihiasi kata-kata sarat makna, enak dibaca dan terasa “merdu” di telinga? Ataukah justru menjewer bahkan memerahkan telinga sang lawan diskusi? Penulis pernah juga menerima pertanyaan sekaligus pernyataan seorang teman diskusi yang menurut konvensi umum kurang elok didengar.

Hidup ini antara kita dan Allah. Pertemuan dan perjumpaan dengan orang lain hanyalah sementara. Semua itu rangkaian peristiwa dalam perjalanan menuju Al-Haqq. Oleh karena itu, bagi penulis, apa pun ungkapan yang ditujukan kepada penulis, tak jadi masalah. Apakah kasar, tidak sopan, tanpa tata krama/etika atau apa pun tak jadi soal. Bagi penulis, semua kritik adalah sarana untuk memperbaiki diri.

Namun demikian, jika akan mengajukan pertanyaan/komentar kepada orang lain, hendaknya kita memilih dan memilah kata. Dikuatirkan akan menyinggung lawan bicara. Bukankah sudah tertera di sebuah petuah bijak, “Jikalau pedang lukai tubuh, masihlah ada harapan sembuh. Tapi jika lidah lukai hati, kemana obat hendak dicari?” Bukankah sesama muslim bersaudara? Bukankah kita ibarat satu jasad dan satu bangunan?

0 komentar: